EKONOMI SYARIAH SOLUSI KEMANDIRIAN EKONOMI BANGSA


Pendiri dan ketua dewan pembina Dhompet Dhuafa, Parni Hadi, pada Kongres Kemandirian Indonesia 2011 mengatakan bahwa ada tiga kata dalam bahasa Inggris yang memiliki makna hampir sama, yaitu kebebasan (freedom), kemerdekaan (independence) dan kemandirian (self reliance). Sedangkan inti dari kemerdekaan itu sendiri adalah kemandirian. Namun, bangsa yang telah berdiri dan mandiri secara politik tidak akan kuat dan bertahan jika tidak ditopang oleh kemandirian ekonomi. (menkokesra.go.id)
Hampir setiap tahun dalam penyusunan APBN, pemerintah selalu berencana untuk menambah utang baru dari luar negeri. Walaupun di saat yang sama utang-utang lama berusaha dilunasi, tapi pengutangan baru ini menunjukkan seolah kita memang sulit keluar dari perangkap utang. Padahal beberapa saran telah sering diungkapkan para ahli ekonomi agar kita melepaskan diri dari ketergantungan utang. Karena pada dasarnya kita mampu dan memiliki potensi untuk mengakhiri tradisi utang yang selama ini dilakukan.
Negara kita termasuk negara dengan utang yang membutuhkan perhatian sangat serius, terutama dengan risiko yang harus ditanggung dengan generasi masa depan. Indonesia menanggung beban utang yang sangat besar. Global Development Finance 2002 menempatkan Indonesia pada status severely indebted and low income countries (SILIC), setara dengan Afghanistan, Nigeria, and Ethiopia. Ini jauh di bawah beberapa negara tetangga Asia seperti Malaysia, Thailand, yang masuk middle debt burden.
Secara teori pembangunan ekonomi, negara berkembang seperti Indonesia, memang sangat membutuhkan investasi untuk mendorong perekonomian sekaligus menyediakan lapangan kerja. Dari beberapa sumber pendanaan, utang merupakan alternatif yang cenderung menjadi penyakit kronis karena terus dilakukan seolah ia adalah sebuah ritual yang wajib dilakukan dalam aktivitas ekonomi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kita baru akan bisa menghapus utang dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan catatan tanpa ada penambahan utang baru, suatu hal yang sulit terealisasi tanpa ada langkah-langkah inkonvensional. Indonesia seakan sudah masuk dalam situasi harus berutang, debt trap, guna kelangsungan hidup perekonomian. Tanpa utang, negara kita seolah akan ambruk.
Karena utang menjadi masalah kronis yang dihadapi oleh mayoritas negara berkembang seperti Indonesia, diperlukan langkah-langkah nyata yang tidak sekadar mengikuti mainstream pemikiran konvensional, tetapi juga memanfaatkan potensi negara itu sendiri, termasuk cara pandang terhadap sistem ekonomi. Hal inilah yang harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini. Mereka perlu membangun strategi untuk membuat bangsa ini mandiri dalam melakukan pembangunan dan investasi dengan penerapan ekonomi yang berkeadilan.
Mayoritas penduduk kita adalah Islam dimana adalah suatu keniscayaan untuk percaya bahwa Islam telah memberikan pedoman dalam urusan-urusan muamalah termasuk membentuk sistem perekonomian. Yang mungkin masih kurang adalah kekurang  pedulian kita untuk menggali dan melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan prinsip, aturan, dan landasan yang telah diberikan oleh Islam.
Setidaknya ada tiga langkah –kita bisa menyebutnya triple strategy– yang dapat bersama-sama kita lakukan untuk membangun sistem ekonomi syariah sebagai sistem yang mampu mendukung kemandirian ekonomi negara kita. Strategi ini seyogianya memiliki dua tujuan, yaitu bagaimana menyerap jumlah pengangguran atau surplus labor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil dan menengah.
Strategi pertama adalah Free Financing Access. Salah satu upaya membuat masyarakat dapat bekerja adalah memberikan kesempatan dan akses dana yang cukup luas bagi mereka yang mau dan mampu untuk menciptakan usaha. Kita sama-sama tahu bahwa pada sistem kapitalisme, bunga dan ketersediaan jaminan menjadi harga bagi mereka yang membutuhkan dana. Tentu saja fakta ini menjadi penghambat bagi mereka yang tak mampu menyediakan jaminan, padahal mereka mampu menciptakan usaha.
Dalam sistem ekonomi Islam, mereka yang mau berusaha disediakan akses dana secara luas tanpa jaminan, khususnya bagi mereka yang tak mampu. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana jika muncul moral hazard atau mengalami kerugian? Upaya meminimalisasinya terkait dengan sistem yang dibuat, termasuk mekanisme pengawasan sekaligus pembinaan nilai-nilai Islami pada masyarakat.
Lembaga-lembaga zakat, infaq, sadaqah (ZIS) membuktikan hal ini. Moral hazard sangat jarang terjadi karena memang pada kenyataannya mereka yang meminjam adalah orang-orang yang memang membutuhkan dana untuk usaha. Lagipula mereka melakukan pinjaman dana dalam nilai nominal yang relatif kecil, sehingga motivasi mereka tak lain hanya untuk berusaha. Lewat penanaman nilai Islami mereka juga memahami sistem ekonomi yang jujur dan amanah sekaligus produktif.
Sedangkan dalam kasus kerugian maka pemerintah dengan dukungan sektor volunteer, yaitu zakat dan juga wakaf dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang mengalami kerugian. Ini dibahas dalam strategi ketiga. Strategi kedua adalah menerapkan prinsip Profit Loss Sharing (PLS) secara baku dalam semua kegiatan perekonomian. Secara teori maupun praktik kita harus mengakui prinsip PLS merupakan prinsip yang adil dan seimbang. Setiap mereka yang melakukan usaha, baik yang memiliki dana maupun para entrepreneur, mempunyai tanggung jawab yang adil-proporsional dalam risiko maupun mencari keuntungan. Tidak seperti sistem bunga yang cenderung hanya menguntungkan pemilik dana tanpa risiko.
Sistem dengan prinsip PLS juga mengedepankan hubungan antara sektor moneter dan sektor riil. Berbeda dengan sistem bunga yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem PLS menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara nyata. Ini menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam perekonomian akan memberikan kontribusi derivatif berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan riil masyarakat.
Strategi ketiga adalah mengoptimalkan zakat dan wakaf sebagai investment safety net. Adalah wajar jika dalam melakukan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami kerugian. Potensi kerugian tentu menjadi pertimbangan setiap pelaku usaha. Lembaga keuangan tentu akan memberikan pertimbangan mengeluarkan pinjaman terhadap risiko seperti ini. Nah, solusi yang mungkin diterapkan adalah menyediakan jaminan ganti rugi bagi mereka yang melakukan investasi tetapi mengalami kerugian.
Dengan penduduk mayoritas umat Islam, potensi zakat dan wakaf sangat besar. Berbagai penelitian menyebutkan potensi kedua sumber dana ini mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Kita bisa mengalokasikan sebagian dana zakat dan wakaf yang terkumpul untuk cadangan jaminan kerugian investasi. Secara fikih, mereka yang mengalami kerugian dapat kita golongkan termasuk gharimin, orang yang berutang. Karena itu mereka juga punya hak terutama memperoleh zakat.
Untuk mengoptimalkan zakat saat ini memang telah berdiri berbagai lembaga amil zakat. Tetapi ini juga harus dibarengi dengan membangun kesadaran masyarakat, dan inventarisasi data statistik terhadap pengumpulan zakat guna pengoptimalan strategi kebijakan nasional. Untuk wakaf, upaya yang sedang dilakukan saat ini untuk membentuk badan wakaf nasional seyogianya didukung dan diberi perhatian khusus terutama oleh pemerintah. Dengan potensi yang demikian besar, tentu zakat dan wakaf dalam sistem ekonomi syariah diharapkan dapat menjadi solusi kemandirian ekonomi bangsa.

UKT, Jawaban Cita-cita Education for All?

“...memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...” (kutipan pembukaan UUD 1945 alinea ke-4)
Kesejahteraan dan kecerdasan adalah sebuah rantai kombinasi hukum sebab akibat yang ideal. Bagaimana sebuah kesejahteraan itu terwujud dari golongan-golongan orang yang cerdas membangun bangsa ini, dan golongan orang-orang cerdas yang akan membangun bangsa ini bisa terlahir dengan subur jika sejahteralah rakyat bangsa ini.
Berbicara tentang kecerdasan dan kesejahteraan tidak akan terlepas dari pendidikan dan sistemnya. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang terdidik itu sangat penting. Pendidikan pertama kali yang kita dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan juga terutama lingkungan pendidikan tinggi.
Problematika mahalnya biaya pendidikan telah lama menjadi momok di Indonesia. Dengan mahalnya biaya ini mengakibatkan pendidikan yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar manusia menjadi hanya dapat diakses oleh beberapa orang saja. Dengan fakta seperti itu, apakah benar pernyataan bahwa pendidikan itu untuk semua (education for all)? Sungguh sebuah ironi bagaimana suatu negara yang telah berjanji pada pembukaan undang-undang dasarnya tetapi masih begitu sulit untuk mengaktualisasikannya. Kita lihat negara-negara sebelah kita, mereka menempatkan pendidikan adalah hal yang pertama dan utama. Pendidikan adalah hal yang wajib dan murah karena mereka telah dengan sangat sadar bahwa itula pondasi dari kemajuan bangsa mereka . Dan mungkin inilah yang belum terjadi pada bangsa kita.
Pendidikan yang murah dan bahkan gratis adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk saat ini. Indonesia telah sepakat untuk menerapkan perdagangan bebas secara global di beberapa tahun kedepan. Pertanyaannya, apakah sumber daya manusia Indonesia sudah siap untuk menghadapi itu. Oleh karena itu pendidikan yang dapat diakses oleh semua golongan terutama rakyat yang kurang mampu harus segera disediakan. Dengan begitu daya saing SDM Indonesia tidak kalah ketika harus menghadapi persaingan global.
UKT atau Uang Kuliah Tunggal adalah salah satu strategi pemerintah yang memihak kepada mahasiswa, terutama mahasiswa yang kurang mampu. Tetapi dari kebijakan baru ini banyak sekali terjadi pro dan kontra apakah kebijakan ini benar-benar menjadi solusi tuntutan murahnya biaya pendidikan. Atau justru kebijakan ini malah politik bisnis dunia pendidikan?
Kalau selama ini kita mengenal uang pangkal, SPMA atau apapun itu, dengan adanya uang kuliah tunggal maka semua itu akan dihapuskan. Mahasiswa hanya akan membayar biaya yang sama setiap semesternya. Kalau kata pak dirjen dikti, “Kami menyiapkan unit cost, yakni standar biaya untuk masing-masing PT dan ada tarif. Tarif ini seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang besarannya di bawah standar biaya kuliah karena dibayar pemerintah lewat Bantuan Operasional (BO) PTN.”
Dengan logika sederhana, jika sebelumnya universitas mendapat pemasukan dari sumber A, B, dan C, maka sekarang universitas hanya boleh mengambil pemasukan dari D. D ini lah yang kita sebut Uang Kuliah Tunggal itu.
Besarnya UKT ini akan berbeda di setiap universitas, bahkan program studi. Hal ini dikarenakan biaya pelaksanaan pendidikan di masing-masing prodi itu berbeda beda, sehingga masing-masing akan menghasilkan kalkulasi unit cost yang berbeda. Misal, sebagai gambaran sederhana saja, di Fakultas Filsafat, untuk melaksanakan proses pembelajaran ‘hanya’ diperlukan beberapa buku, sedangkan di fakultas kedokteran, diperlukan beratus-ratus manekin, dan alat
Secara yuridis,pemberlakuan skema UKT ini berdasar pada Surat Edaran Dirjen Dikti No. 97/E/KU/2013 tertangal 5 Februari 2013. Dalam surat edaran ini, Dikti meminta semua perguruan tinggi untuk melaksanakan sistem pembiayaan dengan skema Uang Kuliah tunggal.
Mendikbud menjelaskan bahwa diberlakukannya skema uang kuliah tunggal ini adalah untuk mewujudkan penyediaan pendidikan tinggi yang lebih murah. Mendikbud beralasan, dengan dipangkasnya sumber aliran dari pungutan-pungutan yang terlalu banyak, akan dapat meningkatkan akuntabilitas pembiayaan perguruan tinggi. Selain itu, pemerintah juga sudah menaikkan hingga hampir 2 kali lipat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN).
Menurut saya, usaha untuk ‘memurahkan’ pendidikan tinggi dengan pemberlakuan UKT adalah hal yang masih perlu dianalisis dan dikritisasi. Kurangnya sosialisasi ke mahasiswa juga salah satu hal yang harus jadi catatan. Akan tetapi dibalik itu semua saya acungi jempol kepada pemerintah yang terkait dengan berbagai terobosan program pendidikannya. Permulaan memanglah suatu hal yang sulit dan beresiko, tetapi dibalik itu semua harus dibentengi dengan semangat niat yang lurus. Jangan pernah jadikan kebijakan ini semua hanya sebuah sampah permainan politik bisnis dunia pendidikan. Luruskan tujuan bahwa semua program ini benar-benar untuk satu tujuan yakni pendidikan untuka semua (education for all), bahwa sebuah indahnya dunia pendidikan tidak hanya eksklusifitas orang-orang yang mampu saja tetapi juga dapat dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung secara finansial. 



Ramadhan di Kampus ITS 35


Mari kita sambut bulan Ramadhan tahun 1435H/2014M ini dengan cinta dan penuh suka cita. Setelah setahun lamanya tidak bertemu dengan bulan ini, rindu rasanya untuk segera bertemu kembali. Rayakan dengan penuh kebahagiaan untuk meraih ridlo-Nya bersama Ramadhan di Kampus (RDK) 35 ITS.


Usulan Logo RDK 35 ITS 2014


Pemberian Yang Membahagiakan

Seorang Syekh yang alim lagi berjalan-jalan santai bersama salah seorang di antara murid-muridnya di sebuah taman.

Di tengah-tengah asyik berjalan sambil bercerita, keduanya melihat sepasang sepatu yang sudah usang lagi lusuh. Mereka berdua yakin kalau itu adalah sepatu milik pekerja kebun yang bertugas di sana, yang sebentar lagi akan segera menyelesaikan pekerjaannya.

Sang murid melihat kepada syekhnya sambil berujar: “Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita bersembunyi di belakang pohon-pohon? Nanti ketika dia datang untuk memakai sepatunya kembali, ia akan kehilangannya. Kita lihat bagaimana dia kaget dan cemas!”

Syekh yang alim dan bijak itu menjawab: “Ananda, tidak pantas kita menghibur diri dengan mengorbankan orang miskin. Kamu kan seorang yang kaya, dan kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Sekarang kamu coba memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sepatunya, kemudian kamu saksikan bagaimana respon dari tukang kebun miskin itu”.

Sang murid sangat takjub dengan usulan gurunya. Dia langsung saja berjalan dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu ia bersembunyi di balik semak-semak bersama gurunya sambil mengintip apa yang akan terjadi dengan tukang kebun.

Tidak beberapa lama datanglah pekerja miskin itu sambil mengibas-ngibaskan kotoran dari pakaiannya. Dia berjalan menuju tempat sepatunya ia tinggalkan sebelum bekerja. Ketika ia mulai memasukkan kakinya ke dalam sepatu, ia menjadi terperanjat, karena ada sesuatu di dalamnya. Saat ia keluarkan ternyata…....uang.

Dia memeriksa sepatu yang satunya lagi, ternyata juga berisi uang.

Dia memandangi uang itu berulang-ulang, seolah-olah ia tidak percaya dengan penglihatannya.

Setelah ia memutar pandangannya ke segala penjuru ia tidak melihat seorangpun.

Selanjutnya ia memasukkan uang itu ke dalam sakunya, lalu ia berlutut sambil melihat ke langit dan menangis. Dia berteriak dengan suara tinggi, seolah-olah ia bicara kepada Allah:

“Aku bersyukur kepada-Mu wahai Tuhan. Wahai Yang Maha Tahu bahwa istriku lagi sakit dan anak-anakku lagi kelaparan. Mereka belum mendapatkan makanan hari ini. Engkau telah menyelamatkanku, anak-anak dan istriku dari celaka”.

Dia terus menangis dalam waktu cukup lama sambil memandangi langit sebagai ungkapan rasa syukurnya atas karunia dari Allah Yang Maha Pemurah.

Sang murid sangat terharu dengan pemandangan yang ia lihat di balik persembunyiannya. Air matanya meleleh tanpa dapat ia bendung.

Ketika itu Syekh yang bijak tersebut memasukkan pelajaran kepada muridnya:

“Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih dari pada kamu melakukan usulan pertama dengan menyembunyikan sepatu tukang kebun miskin itu?”

Sang murid menjawab:

“Aku sudah mendapatkan pelajaran yang tidak akan mungkin aku lupakan seumur hidupku. Sekarang aku baru paham makna kalimat yang dulu belum aku pahami sepanjang hidupku: “Ketika kamu memberi kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak dari pada kamu mengambil”.

Sang guru melanjutkan pelajarannya.

Dan sekarang ketahuilah bahwa pemberian itu bermacam-macam:

- Memaafkan kesalahan orang di saat mampu melakukan balas dendam adalah suatu pemberian.
- Mendo’akan temanmu di belakangnya (tanpa sepengatahuannya) itu adalah suatu pemberian.
- Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya juga suatu pemberian.
- Menahan diri dari membicarakan aib saudaramu di belakangnya adalah pemberian lagi.

Ini semua adalah pemberian, supaya kesempatan memberi tidak dimonopoli oleh orang-orang kaya saja.

Jadikanlah semua ini pelajaran, wahai ananda!

Zulfi Akmal
Al-Azhar Cairo
Sumber : http://www.pkspiyungan.org/2014/02/pemberian-yang-membahagiakan.html

Beasiswa itu, Memandirikan atau Memanjakan?

               
Sebuah fenomena baru muncul di dunia perkuliahan, kesenjangan keadaan ekonomi mulai menyempit. Keadaan ini muncul sebagai dampak program mutakhir yang diluncurkan pemerintah sejak 2010, program bantuan pendidikan Bidik Misi. Dengan adanya program ini calon mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat menikmati dunia pendidikan tinggi secara gratis. Tidak hanya perguruan tinggi negeri saja yang menawarkan program ini. Sejak tahun 2012 perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi baik juga dialokasikan kuota untuk menerima mahasiswa baru melalui program Bidik Misi. Tidak tanggung-tanggung, untuk perguruan tinggi setaraf Universitas Airlangga bisa memberikan kuota Bidik Misi untuk dua ribu mahasiswa baru. Sebuah angka yang fantastik jika dibandingkan era menteri pendidikan sebelum Muhammad Nuh menjabat, yang mana begitu sulitnya lulusan SMA sederajat yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan tinggi. Menilik di luar itu semua, apakah berbagai program beasiswa perkuliahan seperti Bidik Misi maupun beasiswa lain seperti Beastudi Etos, benar-benar mampu memberdayakan sehingga mengahasilkan lulusan yang berkualitas dan mandiri?
            Ada beberapa kasus yang pernah saya dengar dari teman-teman penerima beasiswa, yang sebenarnya juga saya alami. Bahwa kita sebagai penerima sering lupa darimana sebenarnya sumber semua beasiswa ini. Kita sebagai penerima sering terkecoh bahwa kita bisa sesuka hati menggunakan dana ini. Padahal di dalam apa yang kita makan ada keringat petani, tukang becak, tukang parkir, buruh bangunan yang dikumpulkan dalam bentuk pajak, mengalir ke rekening kita. Dan duh, dengan egoisnya, saat kita menerima uang tersebut, sering kita malah memikirkan kepentingan diri sendiri, kesenangan diri sendiri semata. Kira-kira jika rakyat yang membayar pajak, terlebih rakyat kecil, tahu bahwa uang mereka digunakan untuk bersenang-senang di atas jerih payah mereka, ikhlas kah mereka? Berkahkah sesuatu yang digunakan tetapi si pemberi tidak ikhlas? Lalu, tercecer di manakah kesadaran untuk berhati-hati menggunakan uang beasiswa?
            Tujuan bantuan beasiswa adalah agar kita yang dianggap “berpotensi” membangun bangsa ini dapat memberikan sumbangsih yang positif kelak untuk negara ini. Kita diberi, dimudahkan saat ini agar kita lebih fokus untuk memikirkan dan bertindak hal-hal besar, tidak melulu memikirkan urusan perut. Bagaimana tujuan yang lebih besar itu dapat tercapai jika kebutuhan primer kita saja tidak terurus. Akan tetapi, kita sering lalai dan lupa akan tujuan utama semua itu.  Beasiswa yang seharusnya mendidik kita untuk mandiri dan bertanggung jawab akan suatu pemberian, justru ditanggapi sebagai racun yang melenakan serasa memanjakan kita. Bukannya merasa harus lebih kerja keras malah merasa dimanjakan dengan fasilitas.
Fakta itu semua hanya gambaran kasar yang penulis tangkap secara subjektif. Lepas itu semua dapat dipertanggung jawabkan atau tidak tetapi itulah fenomena yang saya lihat. Akan tetapi, itupun tidak terjadi pada semua penerima beasiswa. Banyak juga para penerima beasiswa, yang notabene dari uang rakyat, benar-benar merasa harus mempertanggung jawabkan rezeki itu. Mereka sadar dan mereka bekerja keras untuk berprestasi. Itulah yang patut dicontoh oleh para penerima beasiswa. Sebagai contoh, saya ingin berefleksi dengan sosok luar biasa penerima Bidik Misi sekaligus Beastudi Etos, yakni Birrul Qodriyyah, mahasiswa fakultas kedokteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dalam blognya, birulkhoiriya.blogspot.com, ia banyak bercerta tentang latar belakang, perjuangan, dan berbagai pencapaiannya. Bagaimana ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana yang dulu ia tidak percaya bakal bisa mengenyam pendidikan perguruan tinggi hingga sekarang ia membuktikan bahwa kuliah dengan beasiswa penuh itu nyata adanya. Ia tidak hanya berpangku tangan mengadah transferan uang hidup tiap bulannya, ia bekerja keras, ia gigih berusaha dan berdoa membuktikan bahwa meskipun ia berasal dari keluarga kurang mampu ia bisa menunjukkan eksistensi prestasinya. Terbukti hingga ia menjadi mahasiswa berprestasi utama UGM, duta keperawatan Indonesia dan beberapa kali menyambangi negeri seberang hanya untuk pemaparan paper. Sungguh prestasi yang patut untuk diacungi lima jempol hingga ia juga dinobatkan sebagai mahasiswa Bidik Misi paling berprestasi oleh Depdiknas.
Satu sosok lagi mari kita lihat seorang Farendy Arlius. Seorang mahasiswa teknik perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya yang juga penerima manfaat Beastudi Etos. Dibalik kebersahajaannya ia adalah sosok yang luar biasa. Bagaimana di usianya yang sangat muda ia telah menjadi penulis yang menerbitkan beberapa buku inspiratif untuk konsumsi masyarkat Indonesia. Ia juga adalah lulusan etoser (sebutan para penerima Beastudi Etos) terbaik Nusantara angkatan 2010. Jelas, itu semua tidak direngkuh dengan jalan yang mudah, semua penuh bumbu kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan tak lupa senjata doa. Dulu mereka bukanlah siapa-siapa dan kini mereka adalah sosok yang luar biasa. 
Sudah saatnya kita para penerima beasiswa sadar, beasiswa ini, dana ini, apapun itu bentuknya jangan lagi justru menjadi racun manja bagi kita. Beasiswa itu adalah energi kita yang benar-benar membutuhkan. Energi itu adalah akumulasi keringat rakyat Indonesia. Jangan sampai energi yang telah mereka sumbangkan kita nikmati dengan sia-sia. Ingat energi itu akan tetap ada, jangan sampai energi yang kita siakan itu menuntut kita para penyia-nyia nan manja di yaumul hisab.
Akhir cerita, saya ingin sekali mengutip tulisan Aa Gym dalam ebook-nya. Mungkin tidak begitu nyambung dengan pembahasan kali ini. Tetapi tak salah rasanya saya coba kutip di tulisan ini sebagai penambah refleksi kita sebagai mahasiswa.
“....Jika kuliah hanya untuk menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.

Wallahu’allam bisshawab.

UNWRITINGOFREAK SP. : Spesies Mutu Rendah yang Harus Segera Dibasmi


Sepuluh adalah tanggal yang sangat membahagiakan bagi Si Maman. Setelah perjuangan dengan mengerahkan seribu strategi hemat di akhir bulan, akhirnya dia nampak dapat bernafas lebih lega. Tetapi, masih nampak sedikit guratan di dahinya. Sebuah guratan kinerja otot tak sadarnya.
 “Awal bulan dapat uang saku, tapi harus nulis juga, oh nooo...!” teriaknya dalam hati.
“Ah nyantai aja... Masih tanggal 10, dateline-nya kan tanggal 18. Dikerjakan akhir-akhirnya aja....” Bisik hatinya menenangkan.
Dan pada akhirnnya, ia baru ingat kalau ia belum mengerjakan tugas esai hingga tanggal 18. Masih untung jika ingat, alhamdulillah.
Itulah mungkin gambaran sebagian spesies etoser di Nusantara. Unwritingofreak sp., spesies etoser nusantara yang sampai detik ini masih deman panas plus komplikasi alergi ketika disuruh menulis. Mungkin sebenarnya spesies ini sudah langka, tetapi indikasi kuat masih ada di satu daerah tertentu yang tidak bisa saya sebutkan wilayahnya. Sebuah spisies mutu rendahan yang perlu segera dibasmi. Jadi, rumusan masalahnya adalah mengapa spesies ini ada? Dan bagaimana strategi jitu membasmi spesies ini?
Budaya menulis sangat erat hubungannya dengan budaya membaca. Bahkan dalam Islam, menulis adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 tercatat bahwa penduduk dengan usia di atas 10 tahun yang menonton TV jumlahnya 85,86% dan yang membaca surat kabar 23,46%. Selanjutnya pada tahun 2009, penduduk yang menonton TV mencapai 90,27% dan membaca surat kabar 18,94%. Terakhir pada tahun 2012 menunjukkan, penduduk yang menonton TV berjumlah 91,68% dan yang membaca surat kabar berjumlah 17,66%. Data tersebut menunjukkan budaya baca dari tahun ke tahun mengalami kemerosotan, sementara budaya menonton mengalami peningkatan.  (Kompas, 2012)
Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan secara kasar bahwa sangatlah wajar jika pertumbuhan spesies Unwritingofreak Sp.terus terjadi karena hal tersebut berbanding lurus dengan penurunan minat baca di Nusantara. Da berdasarkan pengalaman dan observasi sederhana ternyata spesies ini juga masih ada dikalangan etoser Nusantara. Etoser yang terdiri dari sekumpulan mahasiswa “beruntung” yang dituntut benar-benar memiliki peran sebagai leader of change  seharusnya sudah lepas dari permasalahan ini. Masih banyak para etoser yang tidak paham akan penting dan kuatnya sebuah tulisan.
Islam dengan perintahmya “Iqro’” mengajarkan kepada umatnya agar haus akan segala ilmu pengetahuan dan kemudian menuliskannya agar dapat terus dikaji dari masa ke masa. Menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah kejayaan umat Islam beberapa abad silam. Semua ulama yang menjadi arsitek peradaban dan kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Barat yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam.
Melihat kondisi saat ini, sangatlah mengecewakan jika para generasinya terutapa para etoser Nusantara telah lupa akan hakikat dan urgensi sebuah keterampilan menulis.  berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi menulis setelah membaca yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan. Umat Islam malas ”membaca dan menulis”. Melalui tulisan diyakini peradaban impian akan bisa diraih. Melalui tulisan fakta mengatakan sebuah kemajuan akan bisa dicapai. Melalui tulisan jelas kebenaran akan mudah tersampaikan.
Sampai disini, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa menjadi senjata melawan kezaliman ketika meriam telah dihancurkan, ketika senapan dan mesiu telah tenggelam dalam lautan. Maka, adalah wajar jika di era ”Orde Baru” Soeharto yang mantan presiden kita itu begitu gencar memberangus dan mengejar-ngejar para penulis. Sebab, Soeharto meyakini kekuatan pena lebih dahsyat daripada senapan, lebih tajam daripada ujung pedang. Maka, ketika kita ”malas menulis” yang akan terjadi adalah berbagai ketimpangan dan bahkan penjajahan.
Etoser yang termasuk dalam spesies ini seharusnya mulai sadar diri dan beruapaya dengan serius untuk lepas dari golongan spesies ini. Etoser adalah negarawan muda, sekelompok mahasiswa, yang sekali lagi, “beruntung” mendapat tantangan untuk mengatasi permasalahan sosial ini. Bagaimana ia bisa mengatasi permasalah sosial jika ia sendiri tidak mampu mengatasinya sendiri dan tetap lebih nyaman dalam golongan spesies Unwritingofreak sp. Yang jelas-jelas etoser mutu rendah dan sepantasnya untuk segera dibasmi. Bukan pribadi jasad orangnya yang perlu dibasmi, tetapi pribadi perilakunyalah yang harus segera diperbaiki sehingga amanah yang telah terlanjur ditanggung ini dapat dipertanggungjawabkannya kelas di yaumul akhir. Negarawan muda belajar merawat Indonesia, say no to “Unwritingofreak sp.”, more than excellent, insyaAllah kita semua bisa. Wallahu a’alam bisshawab.

RENUNGAN DALAM PENCARIAN SEMANGAT SOSOK PEMUDA

Menjadi seorang etoser adalah anugerah yang luar biasa yang Allah berikan pada saya. Sebuah kesempatan luar biasa untuk berubah menjadi insan lebih baik dan ini tidak akan pernah bisa saya sia-siakan begitu saya. Banyak keluhan ketika dihadapka berbagai tuntutan yang diberikan, dari aktif kajian pagi, mengikuti lomba menulis, membuat esai setiap bulan, proyek sosial desa binaan, dan pembinaan tiap pekan. Belum lagi ditambah berbagai kegiatan dari yayasan Dompet Dhuafa seperti kerelawanan dan berbagai kegiatan kampus yang ingin juga dikerjakan mulai dari kajian, pengkaderan, dan kepanitian. Dan yang pasti tidak bisa ditinggalkan, kuliah tentunya. Banyak memang hingga sering rasa jenuh ataupun sumpek menghampiri. Untuk pulang ke asrama saja rasanya enggan sekali. Dari itu sering diri ini bertanya, apa guna dan manfaat ini semua? Kenapa saya harus melakukan semua ini? Bagaimana nanti nasib nilai-nilai kuliahku nanti? Dan banyak pertanyaan menyesakkan lainnya.
Suatu ketika saya menemukan tumpukan buku panduan mentoring anak ITS yang tertumpuk di etalase buku asrama. Tertarik dan akhirnya saya buka dan baca. Ada satu bab yang membuat saya semakin tertarik untuk membacanya, “Yang Muda Yang Bermanfaat”. Saya baca dan alhamdulillah ternyata banyak inspirasi yang saya dapat. Pada bagian bab tersebut dicantumkan ceramah Ustadz Rahmat Abullah dan saya mendapatkan banyak sentilan atas berbagai keluhan saya.
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengerjarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelusan itu lesu menemanimu.”
Sebuah bait-bait motivasi yang luar biasa. Menggambarkan betapa idealisnya seorang muslim, apalagi seorang muslim muda. Dari itu saya banyak belajar bahwa tidak ada perjuangan terutama jalan dakwah yang mudah. Semua butuh pengorbanan dan semua butuh totalitas. Kesungguhan memang benar akan menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret, tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari. Begitulah seharusnya pemuda muslim, kerja keras dan semuanya hanya untuk mencari keridloan-Nya.
Belajar dari sumber ilmu dan rujuan terbaik, al-Qur’an tidak hanya menyebutkan para pemuda tersebut sebagai sebuah kisah yang indah, tapi juga menjelaskan karakteristik sosok pemuda ideal bagi generasi berikutnya. Ia tak cukup untuk dikenang saja tapi nilai yang paling utama adalah meniru perilaku dan akhlak mereka sebagai teladan-teladan terbaik yang pernah ada.
Pertama, memiliki syaja’ah (keberanian) dalam menyatakan yang haq (benar) itu haq (benar) dan yang bathil (salah) itu bathil (salah). Karakter utama pemuda Muslim adalah siap bertanggung jawab dan menanggung risiko dalam mempertahankan keyakinannya. Teladan spektakuler telah dicontohkan oleh pemuda Ibrahim pada masa Raja Namrudz, penguasa tirani ketika itu. Dengan gagah berani Ibrahim menghancurkan sekumpulan berhala kecil, lalu menggantung kapaknya ke leher berhala yang paling besar. Ibrahim ingin memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu sama sekali tidak mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Kisah heroik ini dikisahkan secara bertutur dalam surah Al-Anbiya [21]: 56-70.
Kedua, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Seorang pemuda Muslim tak mengenal kata berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, akan menghantarkan ia menyadari betapa banyak ilmu yang belum diketahui. Firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (Al-Baqarah [2]: 260)
Ketiga, sosok pemuda Muslim selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam bingkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus. Sikap mereka layaknya pemuda-pemuda Ashabul Kahfi yang dikisahkan Allah dalam surah al-Kahfi. Mereka berkumpul untuk merencanakan sebuah kebaikan dan saling menguatkan di dalamnya. Bukan berkelompok untuk mengadakan konspirasi jahat atau merencanakan suatu keburukan. Jadi, para pemuda Muslim berkelompok bukan sekadar untuk huru-hara, kongkow-kongkow yang tidak jelas. Tetapi mereka berkelompok dalam kerangka ta’awun ala al-birri wa at-taqwa, bukan berkerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusila. Dalam kondisi sekarang, hal ini menjadi suatu hal yang sangat berat. Dekadensi moral yang mendera masyarakat khususnya para pemuda. Belum lagi dominasi budaya Barat yang begitu menggila di tengah masyarakat menjadikan pergaulan islami menjadi sesuatu yang sangat mahal saat ini. Kisah kepribadian Nabi Yusuf sangat layak dijadikan teladan bagi para pemuda. Kala itu pemuda Yusuf digoda oleh Zulaikha di dalam ruangan tertutup. Tak ada seorang pun yang tahu perbuatan mereka selain mereka berdua saja. Namun dengan akhlak yang terjaga serta pertolongan Allah tentunya, akhirnya sang pemuda tampan itu bisa lolos dari jeratan bujuk rayu Zulaikha yang dibisikkan oleh setan laknatullah. Allah berfirman, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Yusuf [12]: 22-24).
Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi. Jati diri pemuda Muslim terlihat pada sikap tidak pernah menyerah pada rintangan dan hambatan. Ia memandang berbagai kesulitan hidup adalah peluang untuk mengukir prestasi dan sarana kematangan jiwa. Kekurangan materi yang melilit kehidupan sehari-hari, kesusahan hidup yang terus melekat erat tak jarang menjadikan seseorang kehilangan semangat hidup. Alih-alih berpikir positif untuk orang lain, seringkali orang seperti ini hanya bisa berpikir pragmatis saja. Sebaliknya, orang yang punya etos kerja tinggi akan berusaha terus. Meski duka lebih sering menyapa, tapi hal itu tak menyurutkan ghirah hidupnya. Ia tetap memiliki visi yang tajam serta himmah aliyah (tekad yang tinggi). Hal itu diperagakan oleh sosok pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang untuk sukses hingga ia tumbuh menjadi pemuda yang bergelar Al-Amin (terpercaya) dari masyarakat. Segala rintangan dan kesulitan hidup hanya menjadi batu loncatan bagi pemuda Muhammad meraih kesuksesan hidup.
Itulah lima karakteristik pemuda muslim ideal berdasar Al Qura’an. Bisakah kita mengaktualisasikannya dalam diri? Semoga ini bisa menjadi renungan dan sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia masa kini. Wallahu a'lam.


Referensi : www.republika.com