Beasiswa itu, Memandirikan atau Memanjakan?
Ada beberapa kasus yang pernah saya
dengar dari teman-teman penerima beasiswa, yang sebenarnya juga saya alami. Bahwa
kita sebagai penerima sering lupa darimana sebenarnya sumber semua beasiswa
ini. Kita sebagai penerima sering terkecoh bahwa kita bisa sesuka hati
menggunakan dana ini. Padahal di dalam apa yang kita makan ada keringat petani, tukang becak, tukang parkir, buruh bangunan yang
dikumpulkan dalam bentuk pajak, mengalir ke rekening kita. Dan duh, dengan egoisnya, saat kita menerima
uang tersebut, sering kita malah memikirkan kepentingan diri sendiri,
kesenangan diri sendiri semata. Kira-kira jika rakyat yang membayar pajak,
terlebih rakyat kecil, tahu bahwa uang mereka digunakan untuk bersenang-senang
di atas jerih payah mereka, ikhlas kah mereka? Berkahkah sesuatu yang digunakan
tetapi si pemberi tidak ikhlas? Lalu, tercecer di manakah kesadaran untuk
berhati-hati menggunakan uang beasiswa?
Tujuan bantuan
beasiswa adalah agar kita yang dianggap “berpotensi” membangun bangsa ini dapat
memberikan sumbangsih yang positif kelak untuk negara ini. Kita diberi,
dimudahkan saat ini agar kita lebih fokus untuk memikirkan dan bertindak
hal-hal besar, tidak melulu memikirkan urusan perut. Bagaimana tujuan yang
lebih besar itu dapat tercapai jika kebutuhan primer kita saja tidak terurus.
Akan tetapi, kita sering lalai dan lupa akan tujuan utama semua itu. Beasiswa yang seharusnya mendidik kita untuk
mandiri dan bertanggung jawab akan suatu pemberian, justru ditanggapi sebagai
racun yang melenakan serasa memanjakan kita. Bukannya merasa harus lebih kerja
keras malah merasa dimanjakan dengan fasilitas.
Fakta itu semua hanya gambaran kasar yang penulis tangkap secara
subjektif. Lepas itu semua dapat dipertanggung jawabkan atau tidak tetapi
itulah fenomena yang saya lihat. Akan tetapi, itupun tidak terjadi pada semua
penerima beasiswa. Banyak juga para penerima beasiswa, yang notabene dari uang
rakyat, benar-benar merasa harus mempertanggung jawabkan rezeki itu. Mereka
sadar dan mereka bekerja keras untuk berprestasi. Itulah yang patut dicontoh
oleh para penerima beasiswa. Sebagai contoh, saya ingin berefleksi dengan sosok
luar biasa penerima Bidik Misi sekaligus Beastudi Etos, yakni Birrul Qodriyyah,
mahasiswa fakultas kedokteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dalam
blognya, birulkhoiriya.blogspot.com, ia banyak bercerta tentang latar belakang,
perjuangan, dan berbagai pencapaiannya. Bagaimana ia berasal dari keluarga yang
sangat sederhana yang dulu ia tidak percaya bakal bisa mengenyam pendidikan
perguruan tinggi hingga sekarang ia membuktikan bahwa kuliah dengan beasiswa
penuh itu nyata adanya. Ia tidak hanya berpangku tangan mengadah transferan
uang hidup tiap bulannya, ia bekerja keras, ia gigih berusaha dan berdoa
membuktikan bahwa meskipun ia berasal dari keluarga kurang mampu ia bisa menunjukkan
eksistensi prestasinya. Terbukti hingga ia menjadi mahasiswa berprestasi utama
UGM, duta keperawatan Indonesia dan beberapa kali menyambangi negeri seberang
hanya untuk pemaparan paper. Sungguh prestasi yang patut untuk diacungi lima
jempol hingga ia juga dinobatkan sebagai mahasiswa Bidik Misi paling
berprestasi oleh Depdiknas.
Satu sosok lagi mari kita lihat seorang Farendy Arlius. Seorang
mahasiswa teknik perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya yang
juga penerima manfaat Beastudi Etos. Dibalik kebersahajaannya ia adalah sosok
yang luar biasa. Bagaimana di usianya yang sangat muda ia telah menjadi penulis
yang menerbitkan beberapa buku inspiratif untuk konsumsi masyarkat Indonesia.
Ia juga adalah lulusan etoser (sebutan para penerima Beastudi Etos) terbaik
Nusantara angkatan 2010. Jelas, itu semua tidak direngkuh dengan jalan yang
mudah, semua penuh bumbu kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan tak lupa
senjata doa. Dulu mereka bukanlah siapa-siapa dan kini mereka adalah sosok yang
luar biasa.
Sudah saatnya kita para penerima beasiswa sadar, beasiswa ini,
dana ini, apapun itu bentuknya jangan lagi justru menjadi racun manja bagi
kita. Beasiswa itu adalah energi kita yang benar-benar membutuhkan. Energi itu
adalah akumulasi keringat rakyat Indonesia. Jangan sampai energi yang telah
mereka sumbangkan kita nikmati dengan sia-sia. Ingat energi itu akan tetap ada,
jangan sampai energi yang kita siakan itu menuntut kita para penyia-nyia nan
manja di yaumul hisab.
Akhir cerita, saya ingin sekali mengutip tulisan Aa Gym dalam
ebook-nya. Mungkin tidak begitu nyambung dengan pembahasan kali ini. Tetapi tak
salah rasanya saya coba kutip di tulisan ini sebagai penambah refleksi kita
sebagai mahasiswa.
“....Jika kuliah hanya untuk menikmati hasil ataupun
hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita
tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari
perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk
mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi
perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari
perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu
saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi
kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat.
Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa
lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya
adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak
mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.
Wallahu’allam
bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar