UKT, Jawaban Cita-cita Education for All?
“...memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa...” (kutipan
pembukaan UUD 1945 alinea ke-4)
Kesejahteraan
dan kecerdasan adalah sebuah rantai kombinasi hukum sebab akibat yang ideal.
Bagaimana sebuah kesejahteraan itu terwujud dari golongan-golongan orang yang
cerdas membangun bangsa ini, dan golongan orang-orang cerdas yang akan
membangun bangsa ini bisa terlahir dengan subur jika sejahteralah rakyat bangsa
ini.
Berbicara
tentang kecerdasan dan kesejahteraan tidak akan terlepas dari pendidikan dan
sistemnya. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, ini
berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu
berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses
kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan
melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang terdidik itu sangat
penting. Pendidikan pertama kali yang kita dapatkan di lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan juga terutama lingkungan
pendidikan tinggi.
Problematika
mahalnya biaya pendidikan telah lama menjadi momok di Indonesia. Dengan
mahalnya biaya ini mengakibatkan pendidikan yang sebenarnya merupakan kebutuhan
dasar manusia menjadi hanya dapat diakses oleh beberapa orang saja. Dengan
fakta seperti itu, apakah benar pernyataan bahwa pendidikan itu untuk semua (education
for all)? Sungguh sebuah ironi bagaimana suatu negara yang telah berjanji
pada pembukaan undang-undang dasarnya tetapi masih begitu sulit untuk
mengaktualisasikannya. Kita lihat negara-negara sebelah kita, mereka
menempatkan pendidikan adalah hal yang pertama dan utama. Pendidikan adalah hal
yang wajib dan murah karena mereka telah dengan sangat sadar bahwa itula
pondasi dari kemajuan bangsa mereka . Dan mungkin inilah yang belum terjadi
pada bangsa kita.
Pendidikan
yang murah dan bahkan gratis adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk saat
ini. Indonesia telah sepakat untuk menerapkan perdagangan bebas secara global
di beberapa tahun kedepan. Pertanyaannya, apakah sumber daya manusia Indonesia
sudah siap untuk menghadapi itu. Oleh karena itu pendidikan yang dapat diakses
oleh semua golongan terutama rakyat yang kurang mampu harus segera disediakan.
Dengan begitu daya saing SDM Indonesia tidak kalah ketika harus menghadapi
persaingan global.
UKT
atau Uang Kuliah Tunggal adalah salah satu strategi pemerintah yang memihak
kepada mahasiswa, terutama mahasiswa yang kurang mampu. Tetapi dari kebijakan
baru ini banyak sekali terjadi pro dan kontra apakah kebijakan ini benar-benar
menjadi solusi tuntutan murahnya biaya pendidikan. Atau justru kebijakan ini
malah politik bisnis dunia pendidikan?
Kalau
selama ini kita mengenal uang pangkal, SPMA atau apapun itu, dengan adanya uang
kuliah tunggal maka semua itu akan dihapuskan. Mahasiswa hanya akan membayar
biaya yang sama setiap semesternya. Kalau kata pak dirjen dikti, “Kami
menyiapkan unit cost, yakni standar biaya untuk
masing-masing PT dan ada tarif. Tarif ini seperti Harga Eceran Tertinggi (HET)
yang besarannya di bawah standar biaya kuliah karena dibayar pemerintah lewat
Bantuan Operasional (BO) PTN.”
Dengan
logika sederhana, jika sebelumnya universitas mendapat pemasukan dari sumber A,
B, dan C, maka sekarang universitas hanya boleh mengambil pemasukan dari D. D
ini lah yang kita sebut Uang Kuliah Tunggal itu.
Besarnya
UKT ini akan berbeda di setiap universitas, bahkan program studi. Hal ini
dikarenakan biaya pelaksanaan pendidikan di masing-masing prodi itu berbeda
beda, sehingga masing-masing akan menghasilkan kalkulasi unit cost yang berbeda. Misal,
sebagai gambaran sederhana saja, di Fakultas Filsafat, untuk melaksanakan
proses pembelajaran ‘hanya’ diperlukan beberapa buku, sedangkan di fakultas
kedokteran, diperlukan beratus-ratus manekin, dan alat
Secara
yuridis,pemberlakuan skema UKT ini berdasar pada Surat Edaran Dirjen Dikti No.
97/E/KU/2013 tertangal 5 Februari 2013. Dalam surat edaran ini, Dikti meminta
semua perguruan tinggi untuk melaksanakan sistem
pembiayaan dengan skema Uang Kuliah tunggal.
Mendikbud
menjelaskan bahwa diberlakukannya skema uang kuliah tunggal ini adalah untuk
mewujudkan penyediaan pendidikan tinggi yang lebih murah. Mendikbud beralasan,
dengan dipangkasnya sumber aliran dari pungutan-pungutan yang terlalu banyak,
akan dapat meningkatkan akuntabilitas pembiayaan perguruan tinggi. Selain itu,
pemerintah juga sudah menaikkan hingga hampir 2 kali lipat Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi (BOPTN).
Menurut
saya, usaha untuk ‘memurahkan’ pendidikan tinggi dengan pemberlakuan UKT adalah
hal yang masih perlu dianalisis dan dikritisasi. Kurangnya sosialisasi ke
mahasiswa juga salah satu hal yang harus jadi catatan. Akan tetapi dibalik itu
semua saya acungi jempol kepada pemerintah yang terkait dengan berbagai
terobosan program pendidikannya. Permulaan memanglah suatu hal yang sulit dan
beresiko, tetapi dibalik itu semua harus dibentengi dengan semangat niat yang
lurus. Jangan pernah jadikan kebijakan ini semua hanya sebuah sampah permainan
politik bisnis dunia pendidikan. Luruskan tujuan bahwa semua program ini
benar-benar untuk satu tujuan yakni pendidikan untuka semua (education for
all), bahwa sebuah indahnya dunia pendidikan tidak hanya eksklusifitas orang-orang
yang mampu saja tetapi juga dapat dirasakan oleh orang-orang yang kurang
beruntung secara finansial.
0 komentar:
Posting Komentar