Beasiswa itu, Memandirikan atau Memanjakan?

               
Sebuah fenomena baru muncul di dunia perkuliahan, kesenjangan keadaan ekonomi mulai menyempit. Keadaan ini muncul sebagai dampak program mutakhir yang diluncurkan pemerintah sejak 2010, program bantuan pendidikan Bidik Misi. Dengan adanya program ini calon mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat menikmati dunia pendidikan tinggi secara gratis. Tidak hanya perguruan tinggi negeri saja yang menawarkan program ini. Sejak tahun 2012 perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi baik juga dialokasikan kuota untuk menerima mahasiswa baru melalui program Bidik Misi. Tidak tanggung-tanggung, untuk perguruan tinggi setaraf Universitas Airlangga bisa memberikan kuota Bidik Misi untuk dua ribu mahasiswa baru. Sebuah angka yang fantastik jika dibandingkan era menteri pendidikan sebelum Muhammad Nuh menjabat, yang mana begitu sulitnya lulusan SMA sederajat yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan tinggi. Menilik di luar itu semua, apakah berbagai program beasiswa perkuliahan seperti Bidik Misi maupun beasiswa lain seperti Beastudi Etos, benar-benar mampu memberdayakan sehingga mengahasilkan lulusan yang berkualitas dan mandiri?
            Ada beberapa kasus yang pernah saya dengar dari teman-teman penerima beasiswa, yang sebenarnya juga saya alami. Bahwa kita sebagai penerima sering lupa darimana sebenarnya sumber semua beasiswa ini. Kita sebagai penerima sering terkecoh bahwa kita bisa sesuka hati menggunakan dana ini. Padahal di dalam apa yang kita makan ada keringat petani, tukang becak, tukang parkir, buruh bangunan yang dikumpulkan dalam bentuk pajak, mengalir ke rekening kita. Dan duh, dengan egoisnya, saat kita menerima uang tersebut, sering kita malah memikirkan kepentingan diri sendiri, kesenangan diri sendiri semata. Kira-kira jika rakyat yang membayar pajak, terlebih rakyat kecil, tahu bahwa uang mereka digunakan untuk bersenang-senang di atas jerih payah mereka, ikhlas kah mereka? Berkahkah sesuatu yang digunakan tetapi si pemberi tidak ikhlas? Lalu, tercecer di manakah kesadaran untuk berhati-hati menggunakan uang beasiswa?
            Tujuan bantuan beasiswa adalah agar kita yang dianggap “berpotensi” membangun bangsa ini dapat memberikan sumbangsih yang positif kelak untuk negara ini. Kita diberi, dimudahkan saat ini agar kita lebih fokus untuk memikirkan dan bertindak hal-hal besar, tidak melulu memikirkan urusan perut. Bagaimana tujuan yang lebih besar itu dapat tercapai jika kebutuhan primer kita saja tidak terurus. Akan tetapi, kita sering lalai dan lupa akan tujuan utama semua itu.  Beasiswa yang seharusnya mendidik kita untuk mandiri dan bertanggung jawab akan suatu pemberian, justru ditanggapi sebagai racun yang melenakan serasa memanjakan kita. Bukannya merasa harus lebih kerja keras malah merasa dimanjakan dengan fasilitas.
Fakta itu semua hanya gambaran kasar yang penulis tangkap secara subjektif. Lepas itu semua dapat dipertanggung jawabkan atau tidak tetapi itulah fenomena yang saya lihat. Akan tetapi, itupun tidak terjadi pada semua penerima beasiswa. Banyak juga para penerima beasiswa, yang notabene dari uang rakyat, benar-benar merasa harus mempertanggung jawabkan rezeki itu. Mereka sadar dan mereka bekerja keras untuk berprestasi. Itulah yang patut dicontoh oleh para penerima beasiswa. Sebagai contoh, saya ingin berefleksi dengan sosok luar biasa penerima Bidik Misi sekaligus Beastudi Etos, yakni Birrul Qodriyyah, mahasiswa fakultas kedokteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dalam blognya, birulkhoiriya.blogspot.com, ia banyak bercerta tentang latar belakang, perjuangan, dan berbagai pencapaiannya. Bagaimana ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana yang dulu ia tidak percaya bakal bisa mengenyam pendidikan perguruan tinggi hingga sekarang ia membuktikan bahwa kuliah dengan beasiswa penuh itu nyata adanya. Ia tidak hanya berpangku tangan mengadah transferan uang hidup tiap bulannya, ia bekerja keras, ia gigih berusaha dan berdoa membuktikan bahwa meskipun ia berasal dari keluarga kurang mampu ia bisa menunjukkan eksistensi prestasinya. Terbukti hingga ia menjadi mahasiswa berprestasi utama UGM, duta keperawatan Indonesia dan beberapa kali menyambangi negeri seberang hanya untuk pemaparan paper. Sungguh prestasi yang patut untuk diacungi lima jempol hingga ia juga dinobatkan sebagai mahasiswa Bidik Misi paling berprestasi oleh Depdiknas.
Satu sosok lagi mari kita lihat seorang Farendy Arlius. Seorang mahasiswa teknik perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya yang juga penerima manfaat Beastudi Etos. Dibalik kebersahajaannya ia adalah sosok yang luar biasa. Bagaimana di usianya yang sangat muda ia telah menjadi penulis yang menerbitkan beberapa buku inspiratif untuk konsumsi masyarkat Indonesia. Ia juga adalah lulusan etoser (sebutan para penerima Beastudi Etos) terbaik Nusantara angkatan 2010. Jelas, itu semua tidak direngkuh dengan jalan yang mudah, semua penuh bumbu kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan tak lupa senjata doa. Dulu mereka bukanlah siapa-siapa dan kini mereka adalah sosok yang luar biasa. 
Sudah saatnya kita para penerima beasiswa sadar, beasiswa ini, dana ini, apapun itu bentuknya jangan lagi justru menjadi racun manja bagi kita. Beasiswa itu adalah energi kita yang benar-benar membutuhkan. Energi itu adalah akumulasi keringat rakyat Indonesia. Jangan sampai energi yang telah mereka sumbangkan kita nikmati dengan sia-sia. Ingat energi itu akan tetap ada, jangan sampai energi yang kita siakan itu menuntut kita para penyia-nyia nan manja di yaumul hisab.
Akhir cerita, saya ingin sekali mengutip tulisan Aa Gym dalam ebook-nya. Mungkin tidak begitu nyambung dengan pembahasan kali ini. Tetapi tak salah rasanya saya coba kutip di tulisan ini sebagai penambah refleksi kita sebagai mahasiswa.
“....Jika kuliah hanya untuk menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.

Wallahu’allam bisshawab.

0 komentar:

Posting Komentar