EKONOMI SYARIAH SOLUSI KEMANDIRIAN EKONOMI BANGSA
Pendiri dan ketua dewan pembina Dhompet Dhuafa, Parni Hadi, pada Kongres Kemandirian Indonesia 2011 mengatakan bahwa ada tiga kata dalam bahasa Inggris yang memiliki makna hampir sama, yaitu kebebasan (freedom), kemerdekaan (independence) dan kemandirian (self reliance). Sedangkan inti dari kemerdekaan itu sendiri adalah kemandirian. Namun, bangsa yang telah berdiri dan mandiri secara politik tidak akan kuat dan bertahan jika tidak ditopang oleh kemandirian ekonomi. (menkokesra.go.id)
Hampir setiap
tahun dalam penyusunan APBN, pemerintah selalu berencana untuk menambah utang
baru dari luar negeri. Walaupun di saat yang sama utang-utang lama berusaha
dilunasi, tapi pengutangan baru ini menunjukkan seolah kita memang sulit keluar
dari perangkap utang. Padahal beberapa saran telah sering diungkapkan para ahli
ekonomi agar kita melepaskan diri dari ketergantungan utang. Karena pada
dasarnya kita mampu dan memiliki potensi untuk mengakhiri tradisi utang yang
selama ini dilakukan.
Negara kita
termasuk negara dengan utang yang membutuhkan perhatian sangat serius, terutama
dengan risiko yang harus ditanggung dengan generasi masa depan. Indonesia
menanggung beban utang yang sangat besar. Global Development Finance
2002 menempatkan Indonesia pada status severely indebted and low income
countries (SILIC), setara dengan Afghanistan, Nigeria, and Ethiopia. Ini
jauh di bawah beberapa negara tetangga Asia seperti Malaysia, Thailand, yang masuk
middle debt burden.
Secara teori
pembangunan ekonomi, negara berkembang seperti Indonesia, memang sangat
membutuhkan investasi untuk mendorong perekonomian sekaligus menyediakan
lapangan kerja. Dari beberapa sumber pendanaan, utang merupakan alternatif yang
cenderung menjadi penyakit kronis karena terus dilakukan seolah ia adalah
sebuah ritual yang wajib dilakukan dalam aktivitas ekonomi.
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa kita baru akan bisa menghapus utang dalam jangka
waktu yang sangat lama, dengan catatan tanpa ada penambahan utang baru, suatu
hal yang sulit terealisasi tanpa ada langkah-langkah inkonvensional. Indonesia
seakan sudah masuk dalam situasi harus berutang, debt trap, guna
kelangsungan hidup perekonomian. Tanpa utang, negara kita seolah akan ambruk.
Karena utang
menjadi masalah kronis yang dihadapi oleh mayoritas negara berkembang seperti
Indonesia, diperlukan langkah-langkah nyata yang tidak sekadar mengikuti
mainstream pemikiran konvensional, tetapi juga memanfaatkan potensi negara itu
sendiri, termasuk cara pandang terhadap sistem ekonomi. Hal inilah yang harus
dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini. Mereka perlu membangun strategi untuk
membuat bangsa ini mandiri dalam melakukan pembangunan dan investasi dengan
penerapan ekonomi yang berkeadilan.
Mayoritas
penduduk kita adalah Islam dimana adalah suatu keniscayaan untuk percaya bahwa
Islam telah memberikan pedoman dalam urusan-urusan muamalah termasuk membentuk
sistem perekonomian. Yang mungkin masih kurang adalah kekurang pedulian kita untuk menggali dan melaksanakan
sistem ekonomi berdasarkan prinsip, aturan, dan landasan yang telah diberikan
oleh Islam.
Setidaknya ada
tiga langkah –kita bisa menyebutnya triple strategy– yang dapat
bersama-sama kita lakukan untuk membangun sistem ekonomi syariah sebagai sistem
yang mampu mendukung kemandirian ekonomi negara kita. Strategi ini seyogianya
memiliki dua tujuan, yaitu bagaimana menyerap jumlah pengangguran atau surplus
labor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil dan
menengah.
Strategi
pertama adalah Free Financing Access. Salah satu upaya membuat
masyarakat dapat bekerja adalah memberikan kesempatan dan akses dana yang cukup
luas bagi mereka yang mau dan mampu untuk menciptakan usaha. Kita sama-sama
tahu bahwa pada sistem kapitalisme, bunga dan ketersediaan jaminan menjadi
harga bagi mereka yang membutuhkan dana. Tentu saja fakta ini menjadi
penghambat bagi mereka yang tak mampu menyediakan jaminan, padahal mereka mampu
menciptakan usaha.
Dalam sistem
ekonomi Islam, mereka yang mau berusaha disediakan akses dana secara luas tanpa
jaminan, khususnya bagi mereka yang tak mampu. Tentu muncul pertanyaan,
bagaimana jika muncul moral hazard atau mengalami kerugian? Upaya
meminimalisasinya terkait dengan sistem yang dibuat, termasuk mekanisme
pengawasan sekaligus pembinaan nilai-nilai Islami pada masyarakat.
Lembaga-lembaga
zakat, infaq, sadaqah (ZIS) membuktikan hal ini. Moral hazard sangat
jarang terjadi karena memang pada kenyataannya mereka yang meminjam adalah orang-orang
yang memang membutuhkan dana untuk usaha. Lagipula mereka melakukan pinjaman
dana dalam nilai nominal yang relatif kecil, sehingga motivasi mereka tak lain
hanya untuk berusaha. Lewat penanaman nilai Islami mereka juga memahami sistem
ekonomi yang jujur dan amanah sekaligus produktif.
Sedangkan dalam
kasus kerugian maka pemerintah dengan dukungan sektor volunteer, yaitu
zakat dan juga wakaf dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang mengalami
kerugian. Ini dibahas dalam strategi ketiga. Strategi kedua adalah menerapkan
prinsip Profit Loss Sharing (PLS) secara baku dalam semua kegiatan
perekonomian. Secara teori maupun praktik kita harus mengakui prinsip PLS
merupakan prinsip yang adil dan seimbang. Setiap mereka yang melakukan usaha,
baik yang memiliki dana maupun para entrepreneur, mempunyai tanggung jawab yang
adil-proporsional dalam risiko maupun mencari keuntungan. Tidak seperti sistem
bunga yang cenderung hanya menguntungkan pemilik dana tanpa risiko.
Sistem dengan
prinsip PLS juga mengedepankan hubungan antara sektor moneter dan sektor riil.
Berbeda dengan sistem bunga yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem
PLS menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara
nyata. Ini menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam
perekonomian akan memberikan kontribusi derivatif berupa penyerapan tenaga
kerja dan peningkatan pendapatan riil masyarakat.
Strategi ketiga
adalah mengoptimalkan zakat dan wakaf sebagai investment safety net.
Adalah wajar jika dalam melakukan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami
kerugian. Potensi kerugian tentu menjadi pertimbangan setiap pelaku usaha.
Lembaga keuangan tentu akan memberikan pertimbangan mengeluarkan pinjaman
terhadap risiko seperti ini. Nah, solusi yang mungkin diterapkan adalah
menyediakan jaminan ganti rugi bagi mereka yang melakukan investasi tetapi
mengalami kerugian.
Dengan penduduk
mayoritas umat Islam, potensi zakat dan wakaf sangat besar. Berbagai penelitian
menyebutkan potensi kedua sumber dana ini mencapai puluhan triliun rupiah
setiap tahun. Kita bisa mengalokasikan sebagian dana zakat dan wakaf yang
terkumpul untuk cadangan jaminan kerugian investasi. Secara fikih, mereka yang
mengalami kerugian dapat kita golongkan termasuk gharimin, orang yang
berutang. Karena itu mereka juga punya hak terutama memperoleh zakat.
Untuk
mengoptimalkan zakat saat ini memang telah berdiri berbagai lembaga amil zakat.
Tetapi ini juga harus dibarengi dengan membangun kesadaran masyarakat, dan
inventarisasi data statistik terhadap pengumpulan zakat guna pengoptimalan
strategi kebijakan nasional. Untuk wakaf, upaya yang sedang dilakukan saat ini
untuk membentuk badan wakaf nasional seyogianya didukung dan diberi perhatian
khusus terutama oleh pemerintah. Dengan potensi yang demikian besar, tentu
zakat dan wakaf dalam sistem ekonomi syariah diharapkan dapat menjadi solusi
kemandirian ekonomi bangsa.